Jurnalistonline.com, Jakarta - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai keberhasilan Pemerintah RI meloloskan resolusi Violence Against Women Migrant Workers di PBB merupakan langkah maju sebagai bentuk komitmen Pemerintah RI di kancah Internasional.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto mengatakan, dalam upaya memberikan perlindungan terhadap Buruh migran yang terdampak pandemi COVID-19, Pemerintah, khususnya perwakilan RI di Negara tujuan Buruh Migran Indonesia (BMI) masih belum menjalankan kewajibannya sebagaimana dimandatkan oleh sejumlah Undang-Undang.
"Pemerintah telah gagal menjalankan amanat Undang-Undang sehingga mengakibatkan buruh migran Indonesia khususnya perempuan rentan mengalami kekerasan, terlanggar haknya, termasuk terkait ketenagakerjaan, sosial, keterbatasan informasi, serta kesulitan akses kesehatan" kata Hariyanto dalam keterangan tertulis, pada Kamis (25/11/21).
Kendati demikian, SBMI melihat komitmen tersebut belum dibarengi dengan peran perlindungan yang nyata dari Pemerintah sebagai penyelenggara negara, khususnya perwakilan RI dalam melindungi Buruh migran Indonesia dari dampak Covid-19.
Kementerian Luar Negeri RI mempublikasikan keberhasilan Pemerintah RI meloloskan resolusi Violence Against Women Migrant Workers di PBB melalui laman kemlu.go.id pada Jumat (12/11/21).
Resolusi ini merupakan resolusi dua tahunan bekerja sama dengan Filipina yang didukung oleh 50 Negara dan telah disahkan secara konsensus oleh seluruh anggota PBB.
Peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang jatuh pada tanggal 25 November 2021 harus menjadi momentum refleksi Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan pelindungan BMI, yang mayoritas perempuan, dari dampak pandemi Covid 19.
Sebagai bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, SBMI menuntut,
1. Pemerintah RI memastikan komitmen pada instrumen HAM dan kebijakan di tingkat internasional maupun regional, diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional yang implementatif dan konkrit untuk pelindungan BMI. Pelindungan harus diberikan kepada semua BMI terlepas status keimigrasian mereka;
2. Pemerintah RI harus mengimplementasikan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, termasuk segera menerbitkan berbagai aturan turunan yang dimandatkan dalam UU tersebut, di antaranya Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan dan Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Pelaksanaan Pelindungan PMI, dengan melibatkan masyarakat sipil, lembaga HAM dan lembaga oversights di Indonesia;
3. Pemerintah RI harus segera membuat perjanjian tertulis dengan negara tujuan untuk memastikan perlindungan hak-hak BMI, khususnya tentang:
a. Hak BMI atas informasi dan untuk menggunakan alat komunikasi agar BMI dapat mengakses informasi terkait Covid-19 serta dapat melakukan pengaduan secara online.
b. Jaminan kebutuhan dasar BMI berupa tempat tinggal, makanan dan alat kebersihan dapat terintegrasi dalam undang-undang buruh lokal di negara tujuan sebagaimana mandat Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2017;
c. Semua BMI dapat menjadi peserta program asuransi yang berlaku di negara tujuan untuk memastikan pertanggungan risiko dampak COVID-19 yang tidak di-cover Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia dapat tercover asuransi di negara tujuan;
d. Asuransi kesehatan di Singapura, skema pembayaran bersama (co-payment) antara pemberi kerja dengan BMI harus diubah menjadi kewajiban pemberi kerja dalam hal akses layanan kesehatan, dan penambahan cakupan asuransi kesehatan akibat COVID-19;
4. Kementerian Ketenagakerjaan harus segera merevisi Permenaker No 18 Tahun 2018 Tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia, untuk memastikan adanya pertanggungan risiko terkait dampak Covid-19 pada tahap sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja;
5. KBRI/KJRI harus menyampaikan informasi perkembangan COVID-19 di negara tujuan secara berkala melalui media kreatif yang mudah dipahami BMI, termasuk kebijakan soal vaksinasi di negara tujuan dan prosedur kepulangan pada masa pandemi dari bandara di negara tujuan hingga pemulangan ke kampung halaman BMI;
6. Seluruh perwakilan RI secara periodik mengumumkan agensi (Mitra Usaha) yang resmi/berlisensi dan agensi (Mitra Usaha) yang tidak resmi/tidak berlisensi serta calon Pemberi Kerja bermasalah, sebagaimana diamanatkan UU No. 18 Tahun 2017 (Pasal 10);
7. Pemerintah Pusat (Kemenlu) dan Perwakilan RI di negara tujuan harus memastikan keterlibatan Serikat Buruh Migran dan organisasi komunitas BMI di luar negeri dalam penanganan dampak COVID-19;
8. Setiap Perwakilan RI harus membuat rencana kontijensi untuk memetakan masalah kedaruratan COVID-19 sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelindungan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri;
9. Perwakilan RI harus memastikan layanan yang cepat, profesional, sensitif gender, berempati kepada korban yang terakses serta menyediakan layanan khusus terkait pengaduan kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual yang dialami oleh BMI, termasuk shelter dan layanan pemulihan yang memadai;
10. Sanksi yang tegas harus diberikan kepada para staf perwakilan yang melakukan tindakan tidak profesional, tidak etis, dan tidak berempati terhadap korban, termasuk melontarkan kata-kata merendahkan kepada BMI yang menyampaikan pengaduan;
11. Perwakilan Pemerintah RI dan pemerintah negara tujuan harus melakukan pengawasan secara berkala dan intensif terhadap agensi dan para pemberi kerja untuk memastikan hak-hak BMI terpenuhi, termasuk memastikan BMI tidak mengalami kekerasan dan pelanggaran, baik yang dilakukan pemberi kerja maupun agensi;
12. Pemerintah RI harus segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga, Konvensi ILO Nomor 188 tentang Pekerjaan di Sektor Perikanan, serta mendorong negara-negara penempatan untuk meratifikasi Konvensi-Konvensi tersebut.