Jurnalist.online,JAKARTA--Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) periksa dua orang petinggi PT Antam Tbk terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi jual-beli saham izin usaha pertambangan (IUP) Batubara di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan kedua orang petinggi PT Antam Tbk yang diperiksa itu berinisial HW selaku Direktur Operasional PT Antam Tbk dan Senior Manager Legal PT Antam Tbk berinisial DM.
"Keduanya diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi," tuturnya, Rabu (28/4).
Selain itu, saksi lain yang sudah diperiksa, menurut Leonard adalah bagian legal PT Antam Tbk periode 2003-2018 dan kini menjabat sebagai bagian legal PT Timah Tbk berinisial LW.
Menurut Leonard, ketiga saksi tersebut diperiksa tim penyidik Kejagung untuk mencari alat bukti sekaligus fakta hukum terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi jual-beli saham izin usaha pertambangan (IUP) Batubara di Kabupaten Sorolangun Provinsi Jambi.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara tindak pidana yang didengar, dilihat dan dialami sendiri," katanya.
Dalam perkara yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp92,5 miliar itu, Kejagung telah tetapkan enam orang sebagai tersangka yang tidak kunjung ditahan sejak 7 Januari 2019 lalu. Saat peristiwa korupsi itu terjadi, jabatan dan inisial para tersangka tersebut adalah Direktur Utama PT Antam berinisial AL, Direktur Utama PT Indonesia Coal Resources berinisial BM, Komisaris Utama PT Citra Tobindo Sukses Perkasa sekaligus pemilik PT RGSR berinisial MT.
Kemudian, tersangka lain adalah Direktur Operasi dan Pengembangan PT Antam berinisial ATY, lalu Senior Manager Corporate Strategic Development PT Antam berinisial HW dan MH selaku Komisaris PT Tamarona Mas Internasional.
Perkara dugaan tindak pidana korupsi itu terjadi pada saat Direktur Utama PT. Indonesia Coal Resources bekerjasama dengan PT. Tamarona Mas International selaku Kontraktor dan Komisaris PT. Tamarona Mas International yang telah menerima penawaran penjualan atau pengambilalihan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi batubara atas nama PT. Tamarona Mas International seluas 400 Hektar yang terdiri dari IUP OP seluas 199 Hektar dan IUP OP seluas 201 Hektar.
Kemudian, diajukanlah permohonan persetujuan pengambilalihan IUP OP seluas total 400 Hektar itu kepada Komisaris PT. ICR melalui surat Nomor: 190/EXT-PD/XI/2010 tanggal 18 November 2010 kepada Komisaris Utama PT. ICR perihal Rencana Akuisisi PT. TMI dan disetujui dengan surat Nomor: 034/Komisaris/XI/2010 tanggal 18 November 2010 perihal Rencana Akuisisi PT. TMI.
Dalam kenyataannya, PT. TMI mengalihkan IUP OP seluas 199 Hektar dan IUP Eksplorasi seluas 201 Hektar sesuai surat Nomor: TMI-0035-01210 tanggal 16 Desember 2010 perihal Permohonan Perubahan Kepemilikan IUP Ekplorasi seluas 201 Ha dari PT. TMI kepada PT. Citra Tobindo Sukses Perkasa.
Tindakan tersebut bertentangan dengan hukum karena persetujuan rencana akuisisi PT. TMI yang diberikan oleh Komisaris Utama PT. ICR adalah asset property PT. TMI yang menjadi objek akuisisi adalah IUP yang sudah ditingkatkan menjadi Operasi Produksi sesuai dengan surat Nomor: 034/Komisaris/XI/XI/2010 tanggal 18 November 2010 perihal Rencana Akuisisi PT.TMI.
Selain itu, ada juga Laporan Penilaian Properti/ Aset Nomor File: KJPP-PS/Val/XII/2010/057 tanggal 30 Desember 2010 dan Laporan Legal Due Deligence dalam rangka Akuisisi tanggal 21 Desember 2010. Perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp91,5 miliar.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Fanss)